Sampai Kapan Toko Buku Bertahan?
Di beranda
FB, saya melihat seorang teman memposting foto tumpukan buku dari toko buku
yang gulung tikar. Ia menjelaskan bahwa pemiliknya berhenti jualan buku dan
memilih menjadi pengemudi online.
Ketika saya
mendatangi rumahnya, benar saja, tumpukan buku menggunung di beberapa ruangan.
Sekitar 2 tahun, ia menjalani profesi sebagai penjual buku dengan modal yang
cukup besar. Semua berjalan lancar, sebelum kemudian mengalami kerugian
lantaran ditipu hingga ratusan juta.
Keputusan
pun diambil. Usaha jualan buku tutup. Buku-buku diobral, dijual murah. Satu
buku seharga 5 ribu hingga 15 ribu. Mungkin di bawah harga kulakan. Saya
membeli beberapa, setelah memilih dengan susah payah judul-judul yang bagus.
Fenomena
tutupnya toko buku seperti ini bukan kabar mengejutkan, lantaran terlalu sering
saya mendengar. Beberapa toko buku besar saja, saya lihat sendiri gulung tikar.
Mulai Toko Buku Kharisma hingga Toko Buku Toga Mas di Sidoarjo.
Daya beli
masyarakat terhadap buku cetak saya akui memang menurun drastis dalam beberapa
tahun terakhir. Saya bisa merasakan ini karena saya juga pelaku usaha sejak 8
tahun lalu. Turut mengalami pasang surutnya. Puncak penjualan yang saya alami
sekitar tahun 2012-2013. Saat itu penjualan melalui internet dan media sosial
mendominasi.
Mungkin
benar, salah satu faktor penyebab turunnya minat masyarakat terhadap buku cetak
adalah banjirnya informasi melalui media daring. Apalagi saat ini, hampir semua
orang sudah memiliki gawai. Kemana-mana dibawa. Dalam berbagai kesempatan di
mana pun, orang-orang sibuk dengan gawainya. Banyak yang bisa dibaca. Whatsapp,
facebook, twitter, instagram, portal-portal online dan aplikasi-aplikasi lain
menjadi primadona.
Menurut Nicholas
Carr dalam bukunya yang fenomenal, The
Shallows, semua itu membuat orang tidak tahan membaca teks-teks panjang
seperti buku. Saya yakin, banyaknya ebook gratis pun tak lantas membuat orang gemar
membaca buku digital. Mungkin hanya dijadikan koleksi. Entah kapan dibaca.
Jelas
sekali ini berimbas pada seretnya distrubusi buku, yang mana toko buku sebagai
ujung tombaknya. Toko buku menjadi termarjinalkan dan pada satu titik, terpaksa
gulung tikar.
Toko
buku-toko buku besar yang masih bertahan seperti Gramedia, saya yakin juga
sedang ngos-ngosan. Kembang kempis. Hanya saja mereka terbantu dengan jaringan
yang kuat dan brand yang mengakar. Namun tak dapat dipungkiri, satu dua ada
juga yang tumbang.
Sementara
itu, toko buku-toko buku kelas kecil dan menengah lebih kembang kempis lagi.
Hidup segan mati tak mau. Mereka yang memilih bertahan, dan terus melaju dengan
percaya diri biasanya mereka yang bermental tinggi. Tak cukup itu, mereka telah
menjadikan aktivitas berjualan buku sebagai hobi. Sehingga, apapun yang
terjadi, meski misalnya tak ada penjualan sama sekali, mereka akan tetap nekat kokoh
berdiri.
Bersama
Cahaya Pustaka, saya berusaha membuktikan itu. Buku dan segala aktivitas
literasi telah menjadi passion saya. Saya menyenanginya. Saya menikmatinya.
Sepinya pembeli, tak lantas membuat saya mundur meski sejengkal. Saya malah
kulakan buku lebih banyak lagi. Membeli dan terus membeli.
Saya yakin
toko buku milik saya akan terus bertahan. Di tengah banyak usaha serupa tutup
usia, saya justru sedang semangat-semangatnya. Saya coba merambah beberapa
platform penjualan online. Website tetap dipertahankan. Media sosial juga terus
difungsikan. Rak-rak buku toko offline pun masih terisi penuh. Toko buku saya
tak akan mati begitu saja.
Saya masih
punya mimpi besar yang belum tuntas dikejar. Cahaya Pustaka akan terus besar
dan semakin dikenal. Menjadi toko buku nomor wahid di negeri ini. Bukan hanya
toko yang menjual buku-buku baru, tetapi juga buku-buku lama, seken, dan
langka. [rafif]
sumber gambar: metrobali.com
Posting Komentar